Thursday, 8 July 2010

REVOLUSI BUDAYA



by: Khoirul Taqwim

Sebelum lebih jauh berbicara tentang revolusi, terlebih dahulu memberikan gambaran menurut sztompka bahwa revolusi merupakan puncak dari perubahan sosial. Revolusi adalah sebuah proses pembentukan ulang masyarakat sehingga menyerupai proses kelahiran kembali. Perubahan yang terjadi melalui revolusi mempunyai cakupan yang luas dan menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat. Perubahan akibat revolusi bersifat radikal, fundamental dan menyentuh langsung pada inti dan fungsi dari struktur sosial. Proses perubahan tersebut hanya memerlukan waktu yang cepat, sesuatu yang bertolak belakang dengan konsep evolusi pada perubahan sosial.

Revolusi mempunyai dua wajah yang saling bertolak belakang. Wajah pertama menggambarkan revolusi sebagai sebuah mitos, sedangkan wajah kedua memberikan gambaran revolusi sebagai sebuah konsep dan bahkan teori dalam ilmu sosiologi. Kedua wajah ini mempunyai kesaling terkaitan bahkan dialektika diantara keduanya menjadi suatu bentuk kewajaran.

Mendengar dan memahami tentang Revolusi budaya membuat hati bergetar antara perubahan dan kekerasan, sebab tidak dipungkiri bahwa revolusi dengan anarkis selalu beda tipis dalam sejarah, Seperti yang terjadi di Republik Rakyat Cina antara tahun 1966 dan 1976. Revolusi ini digerakkan oleh Mao Zedong sebagai puncak perseteruannya dengan pejabat Presiden Liu Shaoqi dan klik-nya yang dituduh beraliran kanan, mendukung intelektualisme dan kapitalisme. Revolusi ini ditandai dengan dibentuknya Pengawal Merah, sebuah unit paramiliter yang mayoritas anggotanya adalah mahasiswa-mahasiswa yang mendukung Mao dan ajaran-ajarannya.

Selanjutnya yang terjadi dari revolusi cina adalah kehilangan kontrol atas kekisruhan yang disebabkan oleh Revolusi Kebudayaan itu. Para birokrat di daerah-daerah yang merasa terancam membalas dengan mengerahkan "Garda-Garda Merah" sendiri, sampai kelompok-kelompok pelajar saling berhantaman dimana-mana, dan kelas penguasa semakin khawatir bahwa sebuah perang sipil bisa meletus. Lebih parah lagi, kelas buruh mulai bergerak secara indepen dengan sebuah gelombang aksi mogok.

Kaum penguasa meresponnya dengan represi kejam. Pemuda-pemudi dibuang ke daerah-daerah terpencil dalam jumlah besar untuk menghancurkan Garda Merah. Ratusan ribu rakyat dibantai di propinsi Guangxi dan beberapa tempat lainnya. Represi itu terjadi atas perintah Mao sendiri, tetapi tahap terakhir Revolusi Kebudayaan ini juga merupakan kekalahan besar buat Mao dan para Maois.

Setelah Mao meninggal, para pendukungnya ditangkap dan dihukum. Dan kebijakan ekonomi pemerintah makin lama makin membuka jalan untuk mekanisme pasar, sehingga Cina mulai menempuh "jalan kapitalis" yang selalu dikhawatirkan Mao. Sekali lagi ekonomi pulih kembali; tetapi sekali lagi jurang pemisah antara si miskin dan si kaya menjadi semakin besar. Unsur-unsur sosial yang sama tetap menjadi kelas penguasa, terutama para pejabat partai, negara dan industri. Kelas buruh dan kelas petani terus menjadi kelas tertindas. Sebenarnya, kebijakan pro-pasar ini tidak berarti sebuah peralihan ke kapitalisme. Kapitalisme sudah ada di Cina dari dulu, dalam bentuk kapitalisme negara.

Dalam sebuah gerakan revolusi ada yang memulai sebuah perlawanan, biasanya yang harus mengawali adalah mereka yang selama ini hidup di sentra, kantong, dan para pemegang kendali pemerintah, ditingkat jajaran struktural maupun fungsional, dari situlah gerakan revolusi akan terjadi secara nyata dan akan mendapat dukungan dari masyarakat secara luas, ketika revolusi itu benar-benar mengarah menuju rekonstruksi masyarakat di segala bidang.

Dengan adanya revolusi berarti menginginkan suatu perubahan dalam cakupan terluas, menyentuh semua tingkat dimensi masyarakat, seperti: ekonomi, budaya, politik, organisasi social, kehidupan sehari-hari masyarakat, dan perubahan kepribadian manusia, agar lebih baik dari keadaan sebelumnya